Kembalikan Rumahku!

   







Matahari mulai merendah, ketika saya menghampiri seorang Ibu, yang tengah terduduk di teras rumah sederhana, pada Senin, (29/10/18). Namanya Eulis Suryanti dan usianya sudah menginjak 47 tahun,  usia tersebut juga menandakan, bahwa sudah 47 tahu lamanya ia mendiami wilayah Kampung Mekarsari, Kelurahan Baleendah, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Sebuah wilayah permukiman yang berada tepat di samping Sungai Citarum, tepatnya di samping jembatan Citarum, Baleendah.
Eulis sendiri, telah tinggal di wilayah tersebut, sejak ia lahir yaitu tahun 1972.  Dalam ingatan masa kecilnya,  sungai citarum merupakan sungai yang bersih dan jernih. Tempat ia melakukan berbagai aktivitas sehari – hari, dari mulai cuci piring hingga mandi.
Namun, seiring dengan di bangunnya pabrik – pabrik di sekitar wilayah tersebut, juga di daerah lain yang dilewati sungai citarum, kasus pembuangan limbah ke sungai citarum, semakin meluas. Sejak saat itulah, tak ada lagi sungai citarum yang jernih. Melainkan, yang ada adalah sungai citarum yang berwarna gelap. Bahkan, sungai terebut kemudian memiliki julukan ternama yaitu, “Sungai Terkotor Se-dunia”.
Siang itu, ia bercerita bahwa kondisi tubuhnya tidak baik. Beberapa penyakit yang sudah cukup lama bersarang di tubuhnya, kini tengah kembali meronta – ronta. Ia mengalami gangguan pada bagian lambung, paru – paru hingga hampir menyentuh jantungnya. Untuk itu, sesudah adzan ashar berkumandang nanti, Lilis berencana akan kembali melakukan pemeriksaan ke rumah sakit. 
Penyakit yang dideritanya tersebut, sedikit banyak juga salah satu penyebab karena kondisi air bersih di wilayahnya, yang dapat di ibaratkan saking dekatnya, hanya berjarak satu jengkal dari rumahnya.
Meskipun Eulis menggunakan pompa air, air yang dihasilkan tetap memiliki warna kekuningan. “Setiap mencuci baju, saya harus selalu menggunakan sitrun,” ungkapnya.



    Di tengah upaya warga wilayah tersebut untuk terus hidup bersahabat dengan sungai berlimbah, sedikit harapan kemudian muncul. Yaitu, dengan keberadaan program pemerintah bernama “Citarum Harum”. Program bersih sungai citarum tersebut, salah satu isinya ingin membuat penghijauan di daerah aliran sungai citarum, hingga pengrelokasian pabrik – pabrik di sekitarnya. Selain itu, salah satunya juga upaya pencegahan terhadap warga, agar tidak bung hajat ke sungai. Untuk itu, pemerintah juga mulai membuat sepitenk di berbagai titik di tembok pinggiran sungai. Proyek pembuatan sepitek untuk rumah – rumah warga yang berdekatan dengan sungai citarum tersebut, sudah berlangsung selama tiga bulan.
“ Sepitenk untuk daerah rumah saya, sudah jadi, namun belum dapat digunakan,”  aku Eulis.  Hal tersebut dikarenakan, belum semua septenk warga selesai dikerjakan. Jika Eulis dan keluarganya sudah menggunkan sepitenk mereka, nanti akan ada perbedaan waktu dalam proses pembersihannya. 
Namun di tengah – tengah proyek tersebut,  ada dampak negatif lain yang dirasakan Eulis dan warga lainnya rasakan, yaitu keluarnya bau tak sedap dari air sungai. Yang mana sebelumnya, tidak berbau seperti itu.
Selain upaya yang dilakukan pemerintah, ternyata daerah tersebut juga telah menjadi langganan mahasiswa KKN. Dimana, hasil mengabdi pada masyrakat dari mahasiswa – mahasiswa tersebut, salah satunya keberadaan “Taman Ceria” yang berada di pintu masuk permukiman warga. Perwujudan taman itu, dilakukan oleh para tentara yang biasanya juga melakukan pemeliharaan sungai, berupa bersih – bersih sampah.
“ Yang ada di taman, itu kayak paragi duduk, itu dari tentara ban – bannya, disumbang..” Tambah Eulis. Menururtnya, program tersebut untuk membantu warga dekat aliran sungai Citarum khususnya RW 27, dalam memberdayakan sekaligus memberikan peluang untuk berdagang di seberang taman, yang disediakan tenda – tenda. Ia bercerita bahwa adiknya pun berdagang disana.
Mengenai penghijauan yang akan dibangun, Euis bercerita akan dilakukan sejauh 7 meter dari sungai dan 3 meter dari jalan raya. Itu berarti, rumah Ibunya yang lebih dekat dengan sungai, akan terkena relokasi.
       Di tengah deritanya hidup di wilayah tersebut, Eusi sendiri memang punya sedikit kenginan untuk pindah, namun semua itu terpatok pada biaya yang harus dikeluarkan. Menjual rumahnya pun akan suslit, mengingat wilayah tersebut juga langganan terkena banjir.
Eulis, setidaknya hanya dapat berharap  “Ibu mah inginnya, airnya nanti jernih lagi seperti dulu. Ada banyak ikan – ikan di dalamnya. Ikan lele, dan ikan – ikan lainnya.”

Komentar

Postingan Populer