Wanita di bawah Lembayung Senja

Oleh : Nadhifa Salsabila K

Lembayung senja terlihat kesepian hari itu. Sepertinya ia hanya ditemani sepi memang. Memunguti sisa – sisa pilu dan lelah, dari kisah makhluk – makhluk tuhan, yang berjalan di bawahnya. Meskipun sesekali ia tertawa, ketika menemukan sepenggal kisah bahagia. Namun, rautnya kembali sendu tatakala cerita suram lebih sering dipertontonkan mereka.
Lembayung tetap terbingkai indah dari tempatku duduk. Bukan dari atas puncak gunug, bukan dari ujung pantai, atau bahkan bukan pula dari atap gedung. Hanya dari sebuah kedai kopi, di pinggiran kota. Dengan jendela super besar yang mengelilingi kedai tersebut.
Hidupku dapat dikatakan begitu monoton. Sungguh rasanya tak ada yang menarik tentang diriku. Setiap sore, datang ke café yang sama, meminum secangkir kopi dengan jenis yang sama, juga memesan menu makanan yang sama. Sungguh kesal rasanya, ketika menu yang selalu kumakan setiap hari itu, ternyata sudah habis hingga tak ada lagi sisa untukku. Rasanya, semua  makanan lain tidak ada yang enak, kecuali menu yang biasa kupesan itu.
`Tak hanya semua kegiatan yang itu – itu saja. Akupun, tak begitu suka berbicara lama dengan orang lain. Mengobrol dengan orang lain dalam waktu yang lebih dari lima menit, rasanya seperti menyiksaku. Oleh karena itu, aku lebih sering menghindari suatu hubungan. Aku membenci istilah tersebut. Sungguh tak menyukainya.
Terkecuali, hubunganku denganmu. Gadis yang sudah menemaniku hampir lebih dari separuh hidupku. Ya, jika ada orang lain yang datang di hidupku yang sesepi lembayung sore tadi, maka sama seperti lembayung itu pula, hanya kau yang datang seakan selalu memberikan sepenggal kisah bahagia. Saat bersamamu, aku merasa aman. Saat bersamamu, aku merasa punya alasan untuk tertawa. Saat bersamamu, setidaknya aku memiliki perasaan lain selain sepi dan takut. Yaitu, rasa rindu dan bahagia.
Akhir – akhir ini, aku baru saja menyadari satu hal. Ntah karena kau bersamaku, atau mungkin syndrome harus berada di tempat yang sama agar merasa aman yang aku miliki, kini juga sebenarnya sudah menular padamu. Karena, seperti beberapa tahun yang lalu, saat pertama kali kutemukan kedai kopi ini. Lalu, kuceritakan perasaan aman dan nyaman disini. Kau juga memilih posisi kursi yang sama, meski sesungguhnya kita memilih meja dengan jumlah kursi yang sebenarnya lebih cocok diisi oleh empat orang lainnya. Kau juga kuperhatikan memilih menu yang itu – itu saja. Crème Brulee dengan Fetucini Carbonara. Memang, menumu dan menuku berbeda.
Tetapi, bukankah memang seperti itu? Ini memang sudah menjadi aturan main tak resmi dalam hubungan kita. Kau seringkali menyukai hal yang menjadi lawan dari hal yang aku suka. Maka, jika kau suka kopi yang manis, maka aku lebih suka kopi yang pahit. Dan jika kau suka menu makanan gurih, aku lebih suka menu makanan yang manis.
Dalam hubungan kita, teori hubungan yang mengatakan bahwa  kesamaan kita dengan orang lain adalah hal yang akan membuatmu tertarik untuk memulai suatu hubungan dengan orang lain tidaklah berlaku. Dalam hubungan kita, teori yang berlaku adalah mengenai potongan – potongan puzzle yang berbeda dan baru akan menjadi satu, ketika potongan – potongan puzzle tersebut disatukan. Mungkin, kita adalah dua potongan puzzle yang saling bertemu tersebut.
Lucunya, meski aku adalah pria dan kau adalah wanita, namun aku sering merasa seperti sebaliknya. Mungkin karena aku seringkali merasa bahwa aku lebih rapuh darimu. Sementara kau seakan sekuat baja. Aku tidak pernah melihatmu menangis sekalipun. Tidak saat kau kehilangan Ibumu yang sakit – sakitan itu. Tidak juga, saat kakakmu yang memiliki keterbelakangan mental itu bunuh diri dari atap gedung sekolah SMA kita. Apalagi, tidak juga ketika Ayahmu yang tidak punya pekerjaan lain selain minum – minuman dan berjudi, serta seringkali menggunakan kekerasannya padamu itu pada akhirnya meninggalkanmu dan menjual rumah keluargamua yang merupakan satu – satunya harta yang ditinggalkan Ibumu itu.
Aku tidak mengenali ekspresi sedih di wajahmu. Kalau aku pikir – pikir lagi, apakah kau jelemaan malaikat? Yang hanya dikirimkan perasaan bahagia dan menjadi penyebar senyum bagi orang – orang ada di sekitarmu. Khususnya bagiku?
(…..)

Sore ini, lembayung senja benar – benar tengah bersedih. Ia menangis tersedu – sedu, hingga air matanya benar – benar tumpah ruah, membasahi setiap tanah di Kota. Menerjang deras ke muka bumi. Bak air bah yang turunnya dari langit.
Hari ini, kau datang dengan pakaian yang tak biasanya. Sepertinya kau baru saja datang dari acara pesta. Acara yang tentunya sangat kuhindari. Karena kau datang, dengan mengenakan gaun. Gaun putih polos dengan bahan sutra halus yang panjangnya hingga menyentuh lutut kakimu. Sepertinya sebelumnya, kau juga berias cantik. Namun, sayangnya aku tak dapat benar – benar melihat malaikatku dandan secantik itu. Karena, ketika kau tiba, nampaknya semua dandananmu luntur. Rambut lurusmu yang panjang itu, tergerai dengan basah kuyup. Gaun putih mupun nampak sangat basah rasanya sudah tertolong lagi. Sementara riasanmu itu, benar – benar luntur dan membuat wajah cantikmu dipenuhi carut marut aneh, yang justru kini membuatmu tampak menyeramkan. Salah satu yang paling aneh adalah lingkaran hitam dari benda rias yang tidak kuketahui namanya,yang melingkari mata indahmu.
Serta satu lagi! Astaga! Apakah kau habis menangis?
Kau saat ini tengah berdiri, di depan jendela tempat ku duduk. Mematung, dengan ekspresi aneh dan dandanan yang berantakan itu. Aku tak benar – benar menyadari sebelumnya. Namun aku cukup yakin. Cairan hitam yang menyerupai tinta dan memanjang dari kedua bola matamu hingga ujung pipimu itu, jejak dari air matamu yang membekas di pipimu yang kemerahan itu. Kau menatapku dari luar kaca, dengan tatapan itu. Diam hingga waktu yang bagiku seperti berjalan sangat lama.
Hingga akhirnya, kau tak bergeming lagi. Perlahan kau berjalan kea rah pintu masuk kedai kopi. Namun, kini giliranku yang masih mematung. Aku tetap menatap kea rah jendela kaca. Tempat kau berdiri tadi. Nafasku terengah – engah. Layaknya seperti baru saja berlari 100 km jauhnya. Kupegangi dadaku. Yang kini terasa begitu sesak. Aku tak mengerti dengan diriku. Apakah aku sedang terkena serangan jantung?
Kurasakan kehadiranmu kini. Kau melakukan hal seperti biasanya. Menarik kursi di depan tempatku duduk. Bedanya hari ini, kau tidak memesan menu apapun terlebih dahulu. Sepertinya kau memang tidak sedang dalam suasana hati yang seperti itu.
Aku menatapmu yang kini, tengah menundukkan kepalamu dalam – dalam. Aku samapai takut jikalau lehermu patah karena kau terlalu keras melakukannya. Hingga akhirnya, ku dengar suaramu yang sesegukan. Awalnya perlahan, lalu semakin lama semakin menjadi – jadi. Kulihat kedua bahumu yang biasanya tegak berdiri kokoh. Sekokoh baja itu. Kini, turun seperti tak mampu berdiri lagi. Dan perlahan, kedua bahumu itu justru berguncang. Kian lama guncangannya semakin hebat. Membuat diriku sendiri ikutan ingin menangis pula bersamamu. Hingga kurasakan bulir – bulir air mata juga ikut membasahi pipiku.
Di bawah lembayung sore pada hari itu, Gadis untuk pertama kalinya, kulihat ia menangis. Dan akupun ikut menangis bersamanya. Sembari membiarkan tanganku menggengam tangannya  yang terkepal dia atas meja. Menangis untuk sesuatu yang tak kuketahui alasannya. Menangis, yang nanti alasannya, justru membuatku akan semakin menangis lagi. Dan membuatku mungkin tersadar. Bahwa sejak saat itu, Gadis tak membutuhkanku lagi di hidupnya. Mungkin senjamu kini, bukan lagi senjaku juga.
(…..)

Kali ini, giliran aku yang ingin bercerita tentangmu. Aku termenung menatapmu diam – diam. Dari sudut lain kedai kopi, sebelum benar – benar datang menghampirimu, menemanimu memakan sepotong Blackforest dan Kopi Espresso. Ya, aku masih saja menemukanmu di pojok yang sama. Diam sendirian. Sambil menatap ke arah jalan raya di luar kaca jendela di samping kirimu itu. Matamu selalu sendu, serupa lembayung yang selalu menaungi pertemuan kita beberapa tahun terakhir ini. Sesekali kau seruput espresso panasmu itu. Bahkan, dari tempat berdiriku disini, aku masih dapat melihat kepulan asapnya dari cangkir kopi tersebut.
Pertama kali aku bertemu denganmu, aku seperti sedang melihat seseorang yang nampaknya hampir remuk. Matamu selalu sendu, caramu berjalan yang perlahan. Perawakanmu yang selalu tampak tertekan. Hingga ku dengar sendiri kisahmu itu. Mengenai Ibumu yang pergi meninggalkanmu demi lelaki lain yang lebih mapan dari Ayahmu. Mengenai ayahmu yang menikahi wanita lain dan membuatmu seperti Cinderella jelemaan pria. Mempunyai ibu tiri dan saudara tiri yang kejam. Kau tidak pernah tumbuh seutuhnya sebagai seorang pria. Kau tidak tahu sebagaimana seorang pria seharusnya hidup. Itulah mengapa kadang kala aku berpikir sepertinya jiwa kita masing – masing terperangkap pada tubuh yang salah. Mungkin kau seharusnya aku. Dan aku adalah kau.
Aku paham, setiap orang pasti hidup dengan luka. Namun, cara kita menanggapi luka berbeda. Untuk ukuran, seseorang yang sama – sama memilki luka yang tak jauh berbeda. Itulah mengapa tetap saja kami berbeda.
Melihatmu yang seperti itu, membuatku seakan ingin merangkulmu. Membagi rasa amanku. Juga membagi bagaimana caranya untuk menata luka. Berbagi kisahku yang masih saja bisa hidup dengan tersenyum meski masa lalu tak mengajarkanku hal itu. Kau seharusnya juga bisa seperti itu, kau seharusnya juga bisa merasa aman dan baik – baik saja. Seperti aku yang selalu kokoh dan tetap dapat menjalani hidupku seutuhnya. Melihatmu terus menjalani hidup seperti itu, aku sangat tidak menyukainya. Sungguh.
(….)

Aku tidak bisa benar – benar merasa bahagia. Meskipun aku ingin. Karena hanya dengan bersamamu, aku bisa merasa bahagia. Masa lalu tak mengajarkanku hal itu. Masa lalumu juga begitu kan? Tetapi ntah bagaimana, kau terus mengajarkanku perasaan tersebut.
Namun, berbeda dikala hujan di senja itu. Aku tak mengerti, bisakah kita tak usah mengaitkan hujan dengan secangkir kopi yang terkait dengan kenangan yang kelam beserta kisah yang pilu. Bisakah kita setidaknya sekali waktu, mengaitkan hujan dengan kisah haru nan bahagia. Atau percakapan yang menggembirakan ketimbang memilukan? Secangkir kopi bukanlah diciptakan untuk mengantarkan kabar duka di kala hujan. Sementara hujan seharusnya menjadi berkah, bukannya membuatmu menjadi berpuitis ria dan membuat suasana menjadi penuh dengan adegan drama yang mellow.

Benar saja, ternyata. Setelah senja yang sendu dan isakan tangismu yang menggema itu. Kau kini tak datang seorang diri lagi ke Kedai Kopi. Kau membawa orang lain. Pria lain. Iya duduk di sampingmu kini, di meja yang tidak lagi sama dengan mejaku. Kau bahkan tak hanya tersenyum terus – menerus. Sesekali kau menampakkan raut wajah marah, kesal, lalu kecewa. Jadi, sekarang kau sudah punya beragam perasaan di hidupmu?  Jangan bilang kau juga sudah punya rasa cinta.
Jadi, dengan kesalnya, akupun kemudian bangkit dari kursi tempatku duduk. Melakukan hal diluar kebiasaanku. Dengan beraninya aku berusaha terlihat gagah, berjalan menghampirimu yang kini nampaknya hanya fokus pada pria yang ada di hadapanmu saja.  Namun, aku tetap dengan percaya diri melangkah menghampiri meja barumu itu.
Berdiri kemudian di sampingmu. Di samping telingamu. Perlahan ku berbisik  “ Aku masih terluka, aku masih kesepian, aku masih terperangkap di masa laluku, aku masih tidak merasa aman.”
Namun kau bergeming.  Kau bahkan seakan tak menganggapku ada. Kau malah asyik bersenda gurau dengan pria itu. Meski suaraku sepertinya sudah terus kubisikkan ke telingamu. Hingga tiba – tiba kau berhenti berbicara dengannya. Menoleh ke arah tempatku berdiri. Dan seakan menatap kosong kea rah sana.
Pada kenyataannya, kau sudah tak  pernah menemukanku lagi….

(….)
Seorang pelayan kedai kopi berjalan kea rah meja di sudut jendela kaca yang mengarah ke jalan raya, sembari membawa nampan kosong. Ia kemudia meletakkan nampan tersebut di atas meja yang tak berpenghuni itu. Merapikan meja dan menaruh kembali secangkir kopi espresso yang sudah dingin dan belum disentuh sama sekali. Dengan piring kecil yang masih berisi satu potong kue blackforest yang masih utuh pula ke atas nampan yang di bawanya. Rutinitas pelayan tersebut, seraya malam sudah tiba dan ketika wanita penderita skyzofernia  yang merupakan keponakan pemilik kedai kopi tempatnya bekerja itu, benar – benar sudah pulang.
Ia kemudian menaruh nampan yang sudah terisi itu kembali ke meja dapur. Dan seperti biasa, mulai memakan menu yang masih utuh itu. Sementara teman sesama pelayannya berkomentar di sampingnya.
“ Sepertinya, menu makanan gratis yang kau makan setiap hari itu, kali ini akan menjadi yang terakhir.” Seru temannya.
Si pelayan tersenyum mendengarnya. “ Tetapi, sepertinya kita juga akan benar – benar bekerja keras kan kali ini?” ujarnya kemudian.
Mereka berdua kemudian menolehkan kepala ke arah seluruh ruangan café yang kini sudah mulsi ramai pengunjung. Tidak sesepi, ketika wanita itu selalu datang tiap hari ke kedai kopi ini. Bahkan, meja di sudut jendela sekarang sudah memiliki penghuni baru dari para pengunjung yang kini benar – benar datang berempat. Sementara penghuni lamanya yang sering datang seorang diri itu, sudah berhasil berdamai  dengan kenangannya, mungkin penghuni baru akan membuat kenangan baru.
Wanita itu pun tak pernah datang lagi ke kedai kopi, begitu juga dengan bayangan pria si peminum espresso dan pemakan blackforest, yang selama ini hanya hidup di alam pikirannya.

Komentar

Postingan Populer