Koruptor : Sudah Kaya, Jadi Kaya, Tetap Kaya
1.
Latar Belakang Masalah
Jumlah penanganan kasus korupsi di Indonesia, dari tahun ke tahun sudah
dapat terus – menerus mengalami peningkatan. Namun, ini tidak menjadikan jumlah
kasus korupsi mengalami pengurangan yang signifikan membuktikan bahwa hukuman
yang diberikan kepada pelaku belum menimbulkan efek jera, sekaligus tidak
membuat masyarakat takut untuk melakukannya. Kenyataan ini, membawa Indonesia
menduduki posisi ke-96 dalam urutan negara paling mapan korupsi di dunia.
(https://internasional.kompas.com/read/2018/02/26/14444501/indeks-persepsi-korupsi-2017-peringkat-indonesia-di-bawah-timor-leste
) Tindak pidana korupsi, sudah menjadi fenomena di Indonesia. Mirisnya,
pelakunya sendiri kebanyakan berasal dari wakil rakyat. Kasus – kasus korupsi
tersebut, terjadi meliputi pada intansi pemerintahan desa, pemerintahan
kabupaten, kota hingga pemerintahan pusat. Banyak juga kasus tersebut, berasal
dari pegawai BUMN dimana sektor anggaran yang di korupsi adalah anggara desa,
pemerintahan,pendidikan, transportasi dan sosial kemasyarakatan.
Korupsi memiliki pengertian, setiap orang yang dikategorikan melawan
hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (UU No 31 Tahun 1999).
Kata korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio”
atau corruptus yang bermakna busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut para ahli bahasa,
corruptio berasal dari kata kerja corrumpere, suatu kata dari Bahasa Latin yang
lebih tua. Kata tersebut kemudian menurunkan istilah corruption, corrups (Inggris), corruption
(Perancis), corruptie/korruptie
(Belanda) dan korupsi (Indonesia)
(https://www.zonareferensi.com/pengertian-korupsi/).
Fenomena ini,
seharusnya memberi kesadaran bagi kita, bahwa nilai – nilai Pancasila dalam
diri masyarakat Indonesia sudah mulai memudar. Bisa jadi pula, hal ini
dikarenakan kepekaan masyarakat terhadapa budaya hukum masihlah amat kurang.
Kasus besar baru – baru ini, seperti KTP-el hingga kasus pembangunan apartemen
Meikarta, hingga yang terbaru adalah korupsi pengadaan air di Palu. Kesemuanya
menjadikan bukti baru bahwa aktivitas korupsi seakan sudah menjadi “kegiatan
sehari – hari” yang selalu dilakukan oleh berbagai oknum.
Korupsi itu, meskipun dianggap kekuatan bersifat lunak (soft power), daya rusaknya tidak kalah
dari ancaman kekuatan keras (hard power),
seperti konflik kekerasan kolektif yang berkelanjutan, separatisme, atau perang
sekalipun. Kenyataan demikian akan diperparah ketika korupsi dilakukan dengan
menggunakan hukum sebagai alatnya. Jadilah kejahatan sempurna (perfect crime) dengan pengetahuan hukum
dan kekuasaan yang dimiliki. Tidaklah mengherankan jika hukum dijadikan alat
kejahatan (law as a tool of crime)
yang dapat menyembunyikan korupsi dalam kebijakan yang memayunginya
(https://antikorupsi.org/id/news/budaya-hukum-pelaku-korupsi).
Beberapa waktu lalu, perdebatan mengenai system hukum yang berlaku bagi
para pelaku korupsi di Indonesia, menjadi sorotan. Hal tersebut terkait dengan
kalimat yang dilontarkan oleh Menteri Hukum dan HAM, yang mengatakan bahwa
seharusnya pelaku korupsi, diberikan hukuman mati. Sebagaimana, yang juga
diajarkan dalam tata hukum syariat islam. Namun, kondisi tersebut menimbulkan
berbagai polemik. Meskipun beberapa orang merasa setuju akan usulan tersebut,
namun di sisi lain banyak pula yang merasa hukuman tersebut dianggap sangat
berlawanan dengan hak asasi manusia.
2. Metode
Untuk itu, dalam memenuhi upaya membedah system hukum korupsi yang ada
di Indonesia, saya berusaha melihatnya melalui kaca mata orang – orang yang
memang memahami bidang tersebut. Yaitu, dengan menanyakannya pada narasumber –
narasumber yang memiliki latar belakang pendidikan hukum.
Metode yang digunakan untuk dapat memperjelas permasalahan apa yang
sebenarnya menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi, maka akan coba
dibedah melalui suatu teori, yaitu :
Teori ERG
Teori ini merupakan jenis teori komunikasi intrapersonal. Teori ERG dikemukakan oleh Alderfer (19720
yang mengkategorikan tiga kebutuhan manusia, yaitu Eksistensi (E), lalu Relatedness
(R) atau keterkaitan, dan Growth (G) atau pertumbuhan.
Eksistensi (E) ini, meliputi
beberapa kebutuhan yang diantaranya seperti rasa, rasa haus, dan seksual. Juga
kebutuhan materi seperti gaji, dan lingkungan kerja yang menyenangkan. Juga
kebutuhan materi seperti gaji, dan lingkungan kerja yang menyenangkan. Kebutuhan akan keterkaitan menyangkut
hubungan dengan orang – orang yang penting bagi kita seperti anggota keluarga,
sahabat dan penyelia di tempat kerja. Sementara
itu, kebutuhan akan pertumbuhan
meliputi keinginan kita untuk produktif dan kreatif dengan mengerahkan segenap
kesanggupan. Berdasarkan hal tersebut Alderfer menyatakan bahwa bila kebutuhan
akan eksistensi tidak terpenuhi, pengaruhnya mungkin kuat, namun kategori –
kategori kebutuhan lainnya mungkin masih penting dalam mengarahkan perilaku
untuk mencapai tujuan. Selain itu dia juga menegaskan bahwa meskipun suatu kebutuhan terpenuhi,
kebutuhan tersebut dapat berlangsung terus sebagai pengaruh kuat dalam
keputusan.
Misalnya, kita boleh menerima gaji yang
cukup besar dan pekerjaan yang aman namun
terus menginginkan peningkatan meskipun kebutuhan akan eksistensinya
tampak sudah terpenuhi.
Landasan tersebut
dapat dikaitkan dengan kondisi pelaku korupsi di Indonesia, yang kebanyakan
berasal dari kalangan atas yang sebenarnya sudah mapan dalam jabatan dan mapan
dengan harta.
3. Hasil dan Diskusi
Berdasarkan
teori pertama yaitu Teori ERG, jika dikaitkan dengan kasus korupsi itu sendiri,
yang kebanyakan berasal dari kalangan atas. Yaitu, orang – orang yang memliki
jabatan tinggi. Seperti yang juga diutarakan oleh salah satu narasumber saya yang
bernama Ortega (Mahasiswa Unikom, Jurusan Hukum), manusia itu layaknya seperti sebuah pohon. Semakin tinggi akan
semakin banyak angin yang menerpa. Tergantung sejauh mana ia mampu bertahan. Ortega
juga menambahkan, beberapa orang seringkali bertanya – tanya mengapa pejabat
bisa berkorupsi. Padahal dapat dikatakan mereka sudah memiliki segalanya. Kita yang
menyaksikannya hanya dapat berpendapat bahwa mereka bodoh. Namun, coba bayangkan
suatu saat kita – kita yang menyaksikan
yang kemudian berada di posisi mereka. Cobaan di atas akan lebih banyak, jadi
apakah setiap orang mampu mempertahankan prinsip sebelumnya tersebut. Semua kembali
pada diri masing – masing individu.
Motivasi yang
berada di balik pemikiran seorang koruptor ini, menunjukkan bagaimana jika
suatu kebutuhan sebenarnya sudah terpenuhi, yaitu seperti sudah memiliki
penghasilan yang besar, jabatan yang tinggi, kebutuhan orang tersebut akan
tetap berlangsung terus – menerus sebagai pengaruh kuat dalam keputusannya. Menurut
teori ini awalnya seseorang memang memenuhi kebutuhan agar untuk tetap dapat
bertahan hidup dan merasa aman. Lalu, kemudian seseorang memiliki kebutuhan
untuk lebih banyak membangun hubungan
dengan orang lain, kebutuhan untuk dikenal oleh orang lain. Kemudian,
berada pada tahap akhir dari teori ini
dimana seseorang kemudian membutuhkan agar dapat memiliki pengaruh yang
produktif dan kreatif terhadap diri sendiri. Dari sinilah, seseorang lebih
banyak menginginkan penghargaan terhadap dirinya serta adanya perwujudan yang
nyata.
Keinginan
Menteri Hukum dan HAM untuk memperbaharui hukuman yang harus dijatuhkan kepada
koruptor, tidak lain adalah karena efek jera sepertinya masih juga belum
dirasakan bagi para pelakunya. Seperti yang dikatakan oleh narasumber saya
lainnya, yaitu Maulana yang mengutarakan bahwa Kasus korupsi di Indonesia ini
sendiri terjadi karena lemahnya penanganan dari pihak KPK, dalam misalnya ada
kegiatan pemerintah yang berkaitan dengan uang negara disini, ia tidak dapat
mengawasi secara full pengeluaran biaya tersebut, dan secara tidak langsung,
berarti dari undang – undangnya sendiripun masih lemah, dalam mnekghukum para
koruptor – koruptor di Indonesia. Jadi, seharusnya, undang – undang
diperbaharui lagi, seperti diperberat, agar menimbulkan efek jera tadi. Menurut Maualan, tu sudah jelas bahwa berarti ada
yang salah dari segi hukumannya, apakah itu terlalu ringan, atau apakah ada permainanya
dibelakang, dan lain sebagainya.
Salah satu hal
yang dipandang aneh saat ini, dalam system hukum bagi para pelaku korupsi ini
adalah seorang koruptor tetap kaya, bahkan setelah ia tertangkap. Seperti contoh
adalah Gayus Tambunan hingga pejabat – pejabat koruptor lainnya, yang masih
mampu menjadikan fasilitas penjara “lebih istimewa” ketimbang penjara – penjara
lainnya. Maka dari itu, untuk pelaku korupsi itu, seharusnya, jumlah dendanya
dua kali lipat atau tiga kali lipat, dari yang dia ambil atau korupsikan dari
uang negara. . Pada dasarnya, hukum di Indonesia ini masih kurang tegas.
Namun,
menyikapi hal tersebut kedua narasumber saya sama – sama setuju bahwa ini bukan
soal adanya kecacatan dalam system hukum di Indonesia. Tidak bisa menutupi hal
timpang seperti itu, karena sudah kenyataanya bahwa hukum itu tumpul ke atas,
tetapi tajam ke bawah. Jadi, teori di hukum itu pada dasarnya sudah bagus,
tetapi kenyataanya tidak sesuai. Das send dan das hollannya itu tidak sama.
Antara teori dan kenyataanya tidak bisa sama. Karena apakah dikarenakan pengaruh
uang atau kekuasaan itu bisa merubah. Terkadang juga, orang, ketika ia sudah
punya kekuasaan tapi dia sudah tahu, bahwa suatu hukum tidak baik, mereka tetap
mempermainkan hukum itu, karena mereka punya kuasa dan bisa mempermainkan
hukum.
Namun, memang
tetap harus ada yang diperbaiki dalam sistem hukum yang ada. Ketika hukum
dijalankan sepenuhnya, maka kejanggalan – kejanggalan itu tidak akan lagi
terjadi, hukum korupsi dia masuk penjara, tidak di spesialkan sama sekali,
ditutup aksesnya, hak asasi manusianya tetap diberikan, namun tidak berlebihan,
itu pasti akan mengurangi populasi orang korupsi di Indonesia.
Dalam undang – undang terdahulu, yaitu UU No 31
tahun 1999 pasal 3 mengenai hukuman yang bagi koruptor, berbunyi : Setiap orang
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
UU tersebut
diperbaharui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, mengatur hukuman mati dapat dijatuhkan antara lain pada pelaku korupsi
saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan
tertentu. Yang kini belum ada adalah keberanian majelis hakim untuk menerapkan
hukuman mati.
Keinginan
lebih menekankan hukuman mati pada koruptor, sebagaimana yang dingkap oleh
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, untuk mengikis korupsi dan
penyuapan, pemerintah sebenarnya menerapkan aturan yang keras agar membuat
kapok pelakunya. Jika korupsi masih terus terjadi, maka harus lebih keras lagi
cara penerapan sanksinya.
Maulana dan
Ortega memandang usulan tersebut, bertentangan dengan Pasal 27 UUd 1945, yaitu
mengenai HAM. Dimana isinya mengenai; Hak asasi manusia untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan layak, di mana ayat ini berbunyi “tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak atas kemanusiaan”.
Setiap warga negara berhak mendapatkannya dengan cara yang sah menurut hukum
dengan tidak melanggar hak asasi orang lain. Ayat 3. Hak asasi manusia
terhadap kewarganegaraan dan kebangsaannya, di mana “ setiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara”. Sejak terakhir
amandemen UUD 1945, pada tahun 2004, pasal 28 dijabarkan dengan lebih
terperinci. Dengan bagian utama tetap pada “kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang”
Untuk hukuman
mati, akan bertentangan dengan hak asasi manusia. Kecuali jika kejatahannya
sangat berat, seperti narkoba atau terorisme yang sudah banyak membunuh orang.
Sedangkan koruptor sendiri memang
merugikan negara dan masyarakat, namun tidak pada nyawa. Pada dasarnya yang
harus itu hukuman penjara yang ditambah. Selain itu, pemerintah perlu tegas
bahwa seharusnya tidak boleh mencalonkan diri atau menjabat lagi sebagai aparat
negara. Menurut Maulana ( Mahasiswa Jurusan Hukum) hal itu sama sekali tidak masuk akal, setelah mendengarkan pernyataan tersebut baru
– baru ini. Menurut, jika hal tersebut masih berlanjut, maka ada kepentingan
atau maksud tertentu di belakangnya.
Jadi, menurut
Ortega kalau misalnya ingin hukuman mati, harus diganti semuanya. Misalnya,
kita pakai hukum islam, bisa. Namun, berarti semua harus di tata ulang. Selama ini
hukum pidana kita mengadopsi dari Belanda. Jika dikembangkan, sebenarnya akan
lebih keras. Orang yang korupsi itu, yang membuat undangan hukum itu, tidak
merancang hukuman mati, karena dia belum percaya diri bahwa dia bebas dari
tindakan korupsi beberapa tahun ke depan.
4. Kesimpulan
Menerapkan hukuman
mati bagi para pelaku korupsi di Indonesia, berarti mengadopsi hukum korupsi
yang berasal dari syariat islam. Meskipun dikatakan memang, hukum yang saat ini
sudah ada yang mengatur tindak pidana korupsi masih belum tegas dan perlu
diperbaharui di sana – sini. Namun, penerapan hukuman mati bagi koruptor
dianggap justru dapat menentang HAM. Yang sebagaimana aturannya juga termaktub
dalam UUD 1945 pasal 27.
Untuk itu, yang
perlu dilakukan ke depannya untuk memperbaharui hukum yang menangani tindak
pidan korupsi adalah dengan lebih memberikan banyak sanksi. Paling utama adalah
dengan menambahkan lebih lama hukuman penjara serta menambah uang denda yang
perlu dibayar. Bahkan hingga 2 sampai 3 kali lipat dari uang yang
dikorupsikannya.
Daftar Pustaka
Buku
Yunita, Norma.
2014. UUD 45 dan Amandemen. Bandung :
Niaga Swadaya.
Rohim, Syaiful.
2013. Teori Komunikasi : Perspektif,
Ragam & Aplikasi. Jakarta : PT
Rineka Cipta
Hikmat, Mahi.
2018. Jurnalistik : Literary Journalism.
Jakarta : Prenamedia group
Solihat, Manap
dkk. Interpersonal Skill : Tips Mebangun
Relasi. Bandung : Penerbit Rekayasa Sainsa
Hikmat, Mahi. Komunikasi Politik : Teori dan Praktik.Bandung
: Simbiosa Rekatama
Internet
(https://internasional.kompas.com/read/2018/02/26/14444501/indeks-persepsi-korupsi-2017-peringkat-indonesia-di-bawah-timor-leste
)
Komentar
Posting Komentar